Surabaya, 12 Juli 2025 – Vitalik Buterin, salah satu pendiri Ethereum, melalui blog pribadinya mengemukakan kekhawatirannya terhadap implementasi World ID, sebuah sistem identitas digital yang memanfaatkan teknologi zero-knowledge proof (ZKP) dan pemindaian biometrik iris mata. Menurut Buterin, meski teknologi ini menjanjikan verifikasi “satu orang, satu ID” untuk melindungi ekosistem blockchain dari serangan bot dan Sybil, terdapat risiko serius terhadap kebebasan dan privasi pengguna.
Pada sesi diskusi daring pekan lalu, Buterin menyoroti bahwa konsep World ID, projek yang dikembangkan oleh Worldcoin, dimana mengharuskan setiap individu memindai iris mata mereka untuk membuktikan keberadaan unik. “Zero-knowledge proof memang melindungi data biometrik agar tidak terekspos. Namun, ketika seluruh aktivitas digital terikat pada satu identitas tunggal, pengguna kehilangan ruang untuk bereksperimen dengan persona berbeda yang sangat diperlukan dalam berbagai konteks, seperti diskusi profesional ataupun sosial yang sensitif,” ujarnya.
Ia melanjutkan, pseudonimitas selama ini menjadi fondasi penting bagi kemerdekaan berpendapat di dunia maya. Dengan kemampuan menciptakan dan beralih antar-akun tanpa keterkaitan langsung ke identitas utama, individu dapat menyalurkan gagasan yang mungkin tidak dapat mereka sampaikan secara terbuka. “Jika semua tercatat di satu sistem yang terpusat, potensi penyalahgunaan data oleh otoritas atau platform komersial bisa meningkat. Mereka bisa melihat jejak lengkap aktivitas online seseorang,” jelas Buterin.
Lebih lanjut, pendiri yang kini aktif dalam berbagai inisiatif penelitian kriptografi ini menekankan bahwa tidak ada sistem yang benar-benar kebal terhadap tekanan negara atau lembaga tertentu. “Tekanan hukum atau aturan internal perusahaan bisa memaksa pembukaan akses ke basis data. Sekalipun datanya terenkripsi, entitas dengan kewenangan tinggi mungkin punya cara untuk memaksa rekap semua aktivitas pemilik ID,” ujarnya.
Solusi Pluralistik
Sebagai alternatif, Buterin mengusulkan penerapan kerangka kerja identitas yang pluralistik. Model ini memungkinkan pengguna memilih dan menggunakan beragam ID terdesentralisasi yang diterbitkan oleh berbagai pihak—mulai lembaga swadaya masyarakat, komunitas lokal, hingga perusahaan teknologi—untuk tujuan yang berbeda. Dengan demikian, seorang pengguna dapat memiliki satu ID untuk transaksi keuangan, ID lain untuk berpartisipasi dalam forum diskusi, dan ID tambahan untuk interaksi di jejaring sosial, tanpa saling terhubung.
“Kita perlu merancang protokol yang memberi kebebasan bagi pengguna untuk memilih tingkat anonimitas sesuai kebutuhan. Misalnya, untuk keperluan perbankan, pilih ID dengan standar KYC (know your customer) yang lebih ketat; untuk diskusi politik, gunakan ID yang tidak diikat data biometrik,” ujar Buterin. Pendekatan ini sejalan dengan semangat desentralisasi: memecah kekuatan otoritas dan memberdayakan individu.
Tantangan dan Peluang
Keunggulan utama World ID terletak pada kemampuannya mencegah pendaftaran ganda dan penyalahgunaan bot, yang selama ini menjadi momok bagi layanan digital dan projek Web3. Dengan verifikasi iris, platform dapat memastikan setiap akun dioperasikan oleh manusia asli, bukan skrip otomatis. Namun, menurut Buterin, kelebihan ini tak boleh mereduksi hak mendasar atas privasi.
Sementara itu, komunitas kripto dan pengembang blockchain pun mulai meninjau lebih dalam implikasi etis dan teknis dari World ID. Beberapa proyek sudah menguji integrasi ZKP dengan model identitas modular—mengizinkan pengguna memecah data biometrik menjadi potongan-potongan terenkripsi yang hanya dapat digabungkan di lingkungan tepercaya.
Meskipun World ID menandai lompatan signifikan dalam verifikasi manusia di dunia digital, kritik Vitalik Buterin mengingatkan kita bahwa inovasi teknologi harus selalu diimbangi dengan perlindungan hak fundamental. Menurutnya, masa depan identitas digital seharusnya bersifat terbuka dan fleksibel, bukan dipusatkan pada satu sistem monolitik. Dengan demikian, pengguna mampu mengatur sendiri batasan antara privasi, anonimitas, dan keterbukaan sesuai kebutuhan masing‑masing.






